Madheg Pandito

Sumber: INT



PADA waktu menyimak lakon Mahabarata ternyata kata kunci lakon itu ada pada tangan seorang tokoh bernama Prabu Kresna yang memiliki kerajaan bernama Dwarawati. Tokoh ini memegang Kitab Jitabsara yang berisi alur cerita Mahabarata; siapa  berperang dengan siapa, dan yang harus kalah dan menang siapa. Versi pedalangan Jawa, kitab ini selalu dijadikan acuan oleh Kresna guna mengatur lakunya perang besar Bharatayuda.
Tokoh Kresna ini menjadi sangat penting pada waktu Perang Bharatayuda. Tidak ada satu alur cerita pun dalam peperangan itu tanpa melibatkan beliau. Diawali dengan diplomasi untuk penyerahan Hastinapura secara damai; yang dalam pewayangan terkenal dengan lakon Kresno Duto; walau beliau sendiri sudah mengetahui bahwa itu tidak mungkin, karena jika terjadi, perang Bharatayuda tidak akan jadi, tetapi tetap dilakoni karena memang jantranya harus begitu.
Terakhir peran beliau adalah Pendawa Mandito yang juga mengakhiri perjalanan Kresna di dunia dan harus menuju ke pertapaan guna menjemput maut. Beliau menjalani “sepotonya” Dewi Gendari, ibu para Kurawa, yang mengharuskan Kresna melihat kehancuran wangsanya di depan mata sendiri, serta harus rela mati kena anak panah yang nyasar kepadanya saat dia bertapa.
Setiap pemeran memiliki fungsi dan tugas masing-masing, yang juga memiliki iklim masing-masing. Masing-masing peran itu sangat penting karena merupakan rangkaian yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain.
Banyak tokoh bangsa ini yang masuk kategori "pengantar ke pintu gerbang kemerdekaan," berjuang tidak sempat menyaksikan “pernyataan kemerdekaan” dibacakan. Mereka telah lebih dahulu menghadap Sang Khalik, baik karena usia maupun karena korban perjuangannya. Demikian juga mereka yang berada pada barisan “pencetus” kemerdekaan, bahkan perjuangan mereka bersimbah darah.
Berbeda dengan yang berposisi pada "pengisi kemerdekaan." Ada di antara mereka justru mengisi pundi-pundi pribadi dengan cara tidak sah. Ada juga yang mengisinya dengan memperturutkan libido politik walaupun dengan cara-cara yang tidak sesuai aturan.
Soal libido politik ini memang sangat menarik karena tidak mengenal waktu tempat, usia, dan jenis kelamin. Dari sejak zaman purba hingga kini, ternyata libido ini mendorong seseorang ingin berkuasa. Untuk memenuhi hasrat itu tidak jarang upaya mencari panggung selalu dilakukan, baik dengan cara-cara terhormat maupun dengan cara-cara yang kurang santun.
Ironisnya juga tidak jarang pencari panggung ini mantan tokoh yang seyogianya harus menjadi penasihat; justru menjadi pemain. Tampak ketidaksiapan untuk menepi dari zaman dan memberi peluang yang muda untuk tampil.
Jumlah mereka memang tidak banyak, tetapi karena tidak banyak itu justru semua perilaku mereka menjadi begitu kentara. Persoalannya ialah apa yang ditampilkan pada masa lalu sering berbanding terbalik dengan perilaku yang ditampilkan sekarang.
Seyogianya para tokoh ini menyadari tantangan zamannya sudah berbeda, iklimnya sudah berbeda, kebutuhan pun sudah berbeda. Justru yang dipentingkan adalah bagaimana memberi suri teladan dan nasihat kepada mereka yang sedang melakoni zamannya agar tidak tersesat. Bukan justru ikut bermain, bahkan ingin menjadi pelaku utama. Kesesatan berpikir serupa ini hendaknya perlu dihindari agar para generasi penerus mampu menyelesaikan episode lakonnya dengan baik dan benar.

Penebar Teror Ideologi
Penjelasan bijak sangat diperlukan dalam konteks ini. Oleh karena itu, madheg pandito itu bukan harus menjauh dari dunia nyata, lalu menuju ke atas gunung guna bertapa atau bersemedi untuk kepentingan sendiri. Untuk saat ini justru harus ada di tengah masyarakat, tetapi tidak melebur bersama mereka. Kemudian menjadi suluh bagi mereka dalam menjalani peran kehidupan.
Peran ini sekarang menjadi langka, banyak di antara mereka menutup diri, atau mencari panggung baru. Jika pilihannya menutup diri; maka peran madheg panditomereka maknai meninggalkan dunia ini untuk kontemplasi mesu budi, menuju alam keabadian secara mandiri.
Pilihan ini tidak salah, karena menentukan jalan hidup sendiri adalah bagian dari hak asasi. Namun, pilihan kedua, yakni mencari panggung baru, kemudian ingin ikut berperan terus dalam urusan dunia, juga tidak salah. Menjadi persoalan jika keduanya disikapi secara ekstrim, dalam arti berlebihan sehingga tampak tidak etis, bahkan cenderung norak.
Perilaku seperti di atas akan membawa bangsa ini ke arah jalan yang sempit dan gang yang rumit karena para panditho yang seharusnya memberikan jalan terang kepada alam dan umat sekitarnya, justru memberikan perilaku sebaliknya.
Hal ini akan berimbas kepada generasi millenia yang lahir di atas tahun ‘80-an, mereka akan kehilangan panutan. Bahkan disinyalir mereka suka politik, tetapi tidak mau ikut berpolitik karena salah satu alasannya ialah tidak menemukan tokoh idola. Mereka mengalami disorientasi tokoh karena antara apa yang mereka baca dan yang mereka lihat sangat jauh berbeda.
Lebih parah lagi tokoh yang seharusnya menghormati perbedaan sebagai sunatullah; justru mengangkat panji-panji mau menang sendiri dan paling berhak atas kapling surga. Padahal semula waktu muda tokoh ini menebarkan kebinekaan di mana-mana.
Akan tetapi, menjelang usia senja justru menjadi penebar teror ideologi yang masif. Bahkan memiliki kecenderungan baru, yaitu memaksakan kehendak kepada pihak lain. Ketokohan di waktu muda sebagai pejuang demokrasi seolah pudar ditelan zaman. Semula orang sangat takjub dengan ketokohannya, tapi justru akhir-akhir ini mereka merasa menemukan sosok lain dari tokoh ini.
Bagaimana jika tokoh waktu muda paling tidak pernah berbuat salah langkah dalam menapaki sejarah pengabdiannya; kemudian di ujung usia menjadi tokoh, pergi kepertapaan untuk melakukan pertobatan? Ternyata nasib tokoh seperti masih jauh lebih baik karena banyak orang memberi apresiasi. Bahkan cenderung memaafkan kesalahan masa lalunya. Tidak jarang simpati yang diberikan menjadi berlebihan dan mengultuskan, bahkan diperlakukan sebagai seorang “juru selamat” yang hadir di dunia.
Suka tidak suka saat ini Indonesia memasuki era generasi baru, generasi millenia, yaitu generasi yang tidak pernah lepas dari genggaman teknologi. Bahkan generasi ini sering disebut generasi global.
Teknologi informasi menjadi kebutuhan primer, seperti juga papan, sandang, dan pangan. Tentu saja kebutuhan psikologis mereka sangat berbeda jika dingkan dengan generasi sebelumnya.
Mereka memerlukan para wiku yang berbeda dengan generasi sebelumnya. Ukuran madheg pandito bagi generasi ini bukan lagi yang teriak-teriak di jalanan atau di atas mobil komando. Atau juga mereka tidak butuh lagi dengan orang yang bersila di atas batu bersemayam di puncak gunung. Ukuran mereka sekarang, seorang wiku itu jika menguasai banyak aplikasi dari teknologi untuk mendapatkan kemudahan. Dari pesan makanan, pesan taksi, pesan tukang servis mobil, dan semua kebutuhan kehidupan; cukup hanya menyentuh layar gawai di tangan.
Arus perubahan serupa ini membuat dunia senyap di tengah keramaian. Komunikasi personal semakin masif, tetapi tidak harus terdengar bersuara. Semuanya berjalan dalam kesenyapan, bahkan kegaduhan pun berlangsung dalam senyap. Masyarakatnya yang disebut netizen ini berkembang bagai amuba yang begitu cepat membelah diri.
Generasi ini tidak butuh menonton televisi berjam-jam kecuali acara kesukaan massal. Mereka juga tidak suka retorika yang menggebu-gebu, tetapi mereka lebih suka memperhatikan layar mini dengan seribu informasi.
Mari para pandito agar kita mengenali perilaku ini.
Jika kita berharap negeri ini menjadi lebih baik di masa depan, sebenarnya semua tergantung dari generasi ini. Belum terlalu terlambat kita memperhatikan dan memfasilitasi generasi ini tumbuh guna menerima tongkat estafet Indonesia masa depan.
Prabu Kresna sebagai tokoh sentral dalam peperangan itu bahkan pernah menjadi kusirnya Harjuna pada saat berperang melawan Adipati Karna di Tegal Kurusetra, yaitu suatu daerah medan tempur untuk berhadap-hadapan satu lawan satu antara prajurit Pandawa dan Hastinapura dan juga para panglima perangnya.

Peran Kemerdekaan
Cerita singkat itu hanya sebagai pengantar pikir untuk melihat kembali bagaimana perjalanan para tokoh kita dewasa ini dalam mengisi kemerdekaan. Ada tokoh yang berperan sebagai "pejuang kemerdekaan", ada yang berperan sebagai "pengantar ke pintu gerbang kemerdekaan", dan ada yang berperan sebagai "pengisi kemerdekaan."
Tidak ada sesuatu pekerjaan yang sempurna di dunia ini. Oleh sebab itu, lumrah jika episode keberhasilan di dalam proses perjalanannya ada sisi-sisi ketidakberhasilan. Hal inilah seyogianya ditunjukkan kepada generasi penerus agar tidak mengulangi. ***

Sudjarwo
Guru Besar FKIP Unila

Sumber: lampost.co


EmoticonEmoticon